Sampan Kayu
Akhirnya, senja itu juga jongkok,
yang perlahan menyusun sampan-sampan, menghitungnya sebagai barisan
sunyi
yang lelah, yang rebah, ditangkap diikat di akar-akar di kayu-kayu kaki-kaki
rumah, dan cahaya kikis, sekejap lagi habis
direngguk malam yang mengerang
di badanmu, disarungku;
sangkar segala burung yang bangkit
terbang ke hitam langit,
ke hitam waktu.
Kapan ia lahir, tuan?
Bulan mandul, dan kematian
duduk-duduk memancing ikan
di setiap sudut pantai.
Aku datang dan selalu terkenang
muasal pasir, dan siul sumbang
dari mancung bibirmu yang membuat
cekung pipimu, saat kucium berulang
biji-biji kopi mentah di lidahmu,
saat tak perlu kau sebut lagi
tentang pahitnya kerinduan
saat semua gurat lekat di daun-daun
(puisi: Marhalim Zaini)
No comments:
Post a Comment