Cerpen Seno Gumira Ajidarma
PERCAKAPAN di RUANG TUNGGU
Saya sakit
gigi. Dunia berdentam-dentam. Maka terpuruklah saya di kursi plastik ruang
tunggu klinik gigi ini. Di antara dentam-dentam sialan saya dengar percakapan
itu.
“Eeeh, Jeng
Sakince, apa kabar? Sakit gigi ya?”
“Aaahh enggak,
mau reparasi gigi palsu, enggak enak dipakainya, mengsla-mengsle; ke sana-sini.
Gimana kabarnya Bu Lakidri? Eh, Ibu yang rumahnya sederetan itu ke mana sih?
Dia kan juga bikin gigi di sini, belum jadi giginya kok terus ngilang…”
“Ibu
Plekisit? Lho kan sudah meninggal! Masa’ nggak denger?”
“Haaa?
Meninggal? Innalillahi! Sakit apa? Pantes nggak pernah ketemu waktu jalan pagi.”
“Belum
denger ya? Kejadiannya kan begini…”
Hmm.
Masing-masing bertanya apa kabar dan masing-masing tidak perlu jawaban. Ini memang
klinik di dalam kompleks perumahan. Dokternya warga kompleks. Pasien-pasiennya
juga warga kompleks. Bagi manusia lanjut usia yang sudah tidak bekerja, dan
hampir setiap hari bisa ketemu, kejadian apa pula dalam hidup mereka yang
kurang menarik itu perlu dikabarkan?
Namun
inilah kejadian yang kemudian kudengar ketika terpuruk di kursi plastik dengan
kepala berdentam-dentam.
“Jadi Ibu
Plekisit itu kalau ketemu ceritanya kan kadang-kadang tidak bisa dipercaya…”
“Ah, tidak
bisa dipercaya bagaimana?”
“Ya sulitlah
dipercaya gitu lho Jeng, masa’ dia bilang kepalanya suka dipukuli sama anak
perempuannya…”
“Hah? Masya
Allah! Kepalanya dipukuli? Pakai apa?”
“Pakai alat
masak katanya, sotil kali ya?”
“Bisa
sotil, bisa ulekan.”
“Huss!
Sekalian aja alu besi! Bisa mati dong kalau ulekan…”
“Lha, mati
atau nggak Ibu itu kepalanya dipukuli? Katanya Ibu itu meninggal tadi! Apa
penyebabnya? Jangan bilang memang sudah tiba waktunya ya!”
“Nah, itu
dia soalnya Jeng, mula-mula ceritanya begini…”
Jadi
menurut Ibu Lakidri, tetangga sebelahnya mengendus bau yang aneh dari rumah
sebelah. Itu setelah Ibu Plekisit tidak pernah kelihatan, mungkin sampai
sebulan atau dua bulan. Tak jelas persisnya.
“Bau? Bau
apa? Saya nggak bau apa-apa!”
Ini jawaban
anak perempuan yang katanya suka memukuli kepala ibunya dengan alat masak itu,
entah sotil entah ulekan.
“Ada kok di
atas!”
Kalau ini
jawaban setelah ditanya ke mana saja ibunya kok tidak pernah kelihatan. Di
rumahnya sendiri, peninggalan almarhum Bapak Plekisit, suaminya yang menjadi pegawai
perusahaan Badan Usaha Milik Negara, Ibu Plekisit tinggal di lantai atas.
Lantai bawah ditempati keluarga anak perempuannya itu, anak pertama yang kawin
dengan seorang Aparatur Negeri Sipil. Tidak jelas persisnya, mereka sudah punya
anak atau belum, yang jelas suaminya disebut sering bertugas ke luar kota.
“Tapi mau
seberapa lama sih perginya? Ya kan? Semakin lama bau itu kan semakin tajam.
Masa… nggak ngebauin apa-apa. Iya kan?”
“Iya ya!
Aneh!” Ibu Sakince yang gigi palsunya mengsla-mengsle; itu menimpali.
“Nhaaa,
untungnya dateng anak kedua, perempuan, yang belum kawin. Tinggalnya jauh, di
Cikarang, jadi jarang nengok juga, tetapi selalu kontak lewat we-a. Makanya dia
dateng, takut ibunya kenapa-kenapa, karena sudah terlalu lama pesan di we-a
enggak dibalas, sedangkan mengontak kakak dan iparnya pun sama saja. Telepon
rumah tidak bernada sambung, kontak ke telepon genggam tidak pernah diangkat,
pesan we-a meskipun tandanya diterima tidaklah dibaca.
“Waktu dia
datang, juga nggak ada orang sebetulnya,” lanjut Ibu Lakidri, “untungnya punya
kunci pagar maupun pintu masuk rumah. Pas dia baru buka-buka kunci pagar, ibu
tetangga yang mengendus bau aneh tahu-tahu muncul dan langsung ngomongin soal
bau itu.”
“Terus?”
“Ya mereka
berdua terus masuk.”
“Terus?”
“Ya terus
lihat.”
“Lihat
apa?”
“Ya ibunya
itulah….”
“Ibu
Plekisit?”
“Iyalah.”
“Jadi dari
situ bau aneh itu?”
“Bukan aneh
lagi.”
“Apa dong.”
“Namanya
juga udah meninggal lama, apa saya harus bilang baunya seperti apa.”
Kepala saya
masih berdentam-dentam, tetapi sekarang bertambah dengan suatu gerakan dari
dalam perut. Namun saya masih bisa menahannya. Ibu Sakince langsung berdiri dan
bergegas ke toilet sambil memegangi perutnya. Sambil melihatnya Ibu Lakidri
menghela napas. Toh begitu keluar toilet Ibu Sakince masih bertanya lagi.
“Artinya
memang mati karena kepalanya selalu dipukuli?”
“Itulah …”
“Itulah
bagaimana?”
“Saya pikir
mesti lapor polisi, tapi katanya keluarga tidak setuju.”
“Walah,
memangnya setelah ketahuan Ibu Plekisit sudah lama meninggal terus bagaimana?”
“Saya
bilang, kalau denger cerita Ibu Plekisit kepalanya selalu dipukuli Aning pakai
alat masak, entah sotil entah ulekan itu, ya harus lapor polisi. Apalagi ….”
Ibu Lakidri
berhenti. Ibu Sakince mendesak.
“Apalagi
apa?”
“Selain
bercerita kepalanya sering dipukuli, Ibu Plekisit juga bercerita kalau Aning,
anak perempuannya yang serumah itu, selalu mendesak-desak agar warisannya
segera dibagi ….”
“Hah?
Ibunya masih hidup sudah minta-minta warisan? Apa dia banyak utang?”
“Bukan
begitu, Ibu Plekisit sendiri pernah bilang suaminya Aning itu di Yogya punya
pacar.”
“Oooh,
kalau tugas keluar kota pasti mampir ke Yogya, terus sekarang lama-lama mau
kawin, terus Aning takut masa depannya tidak jelas, begitu?”
“Wah ya
belum sampai ke situ ceritanya, yang jelas kemauan Nurul, anak keduanya tadi,
didukung Pak RT. Kata Pak RT kalau keluarga tidak merasa perlu lapor polisi ya
tidak usah lapor polisi.”
“Aning
sendiri bagaimana?”
“Waktu
Aning pulang, Nurul langsung mendamprat. Mereka bertengkar di depan jenazah ibu
mereka.”
“Hah?
Bertengkar di depan jenazah? Seperti
apa?”
Rupa-rupanya
Ibu Lakidri memiliki bakat terpendam untuk menjadi pemain monolog. Ibu Lakidri
bercerita sambil menirukan suara Nurul dan Aning. Meski kepala saya
berdentam-dentam, tetap terdengar juga monolog Ibu Lakidri.
“Kamu
keterlaluan, masa… Ibu meninggal sampai lama sekali kamu diam saja,” kata
Nurul.
“Mana aku
tahu Ibu meninggal? Kami kan memang tidak ngomong …”
“Itu bukan
alasan, meskipun tetap keterlaluan, sadar enggak sih kamu dan suamimu itu
numpang? Masa… Ibu tidak turun dari atas sampai berhari-hari kamu tidak peduli?
Dan bau seperti ini? Kok bisa sih tidak menengok ke atas sama sekali?”
“Bau apa?
Setiap hari juga seperti ini baunya! Tidak ada yang aneh …”
Sampai di
sini Ibu Sakince menyela.
“Nurul sama
sekali tidak tahu kalau Aning suka memukuli kepala ibunya, entah pakai sotil
atau ulekan itu? Tidak tahu kalau Aning suka mendesak-desak ibunya supaya
warisan segera dibagi?”
Ibu Lakidri
menggeleng.
“Apa hanya
dua itu anaknya? Sampai perlu menunggu Nurul datang dari Cikarang, apakah
anak-anak lainnya tidak pernah kontak?”
Ibu Lakidri
mengangkat bahu.
“Kata Ibu
Plekisit, anaknya yang ketiga, laki-laki, sudah lama tidak pulang karena
berlayar …”
“Oya? Ke
mana?”
Ibu Lakidri
mengangkat bahu lagi.
“… anak
keempat, perempuan, kawin sama orang asing, ikut suaminya ke luar negeri.”
Ibu Sakince
hanya ternganga.
“Anak
kelima, laki-laki, suka menggelandang di kompleks, kalau istirahat di depan
Nglabamart …”
“Ooohh yang
itu? Yang gila? Yang selalu ngomong sendiri itu? Kok bisa begitu sih …”
Orang yang
disebut gila itu saya juga tahu. Ia mengenakan tutup kepala plastik yang
tinggi, busananya seperti rancangan Rei Kawakubo yang tidak pernah dicuci,
duduk di pojok Nglabamart. Maksud saya tentu di luarnya, di lantai semen tempat
parkir sepedamotor, bicara sendiri dengan nada rendah. Konon Bapak Plekisit
dulu punya kedudukan. Bagaimana kalau dia tahu keadaan keluarganya sekarang?
Saya pernah
memarkir sepedamotor di dekatnya ketika mau ke ATM yang ada di dalam. Waktu
mengambilnya lagi saya sengaja berlama-lama, karena ingin mendengar
kalimat-kalimatnya dengan tepat, siapa tahu sebanding dengan Tractatus
Logico-Philosophicus. Namun yang saya dengar kok seperti mantra yang maknanya
sengaja disembunyikan supaya kepalsuannya tidak terbongkar.
Pasien lain
mengeraskan suara televisi, sehingga percakapan Ibu Sakince dan Ibu Lakidri
tidak bisa saya dengar lagi. Agaknya pasien ini penasaran untuk mengikuti suatu
berita kriminal yang pembunuhnya belum tertangkap. Memang belum tentu Ibu Plekisit
meninggal karena dibunuh yang
saya ingat justru kehidupannya. Entah kenapa kepala saya semakin keras
berdentam-dentam.
No comments:
Post a Comment